
Foto : Wikipedia
WART4, Kasultanan Yogyakarta hingga saat ini mempertahankan kebijakan melarang etnis China memiliki tanah di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sebuah aturan yang tidak hanya didasarkan pada hukum tetapi juga memiliki akar sejarah yang mendalam.
Meskipun diatur dalam UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, kebijakan ini lebih jauh berkaitan dengan masa-masa kritis perjuangan kemerdekaan Indonesia dan kebijakan almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX.
Sri Sultan HB IX, yang dikenal sebagai Raja Kasultanan Yogyakarta dan Gubernur DIY, memainkan peran penting dalam mempertahankan keistimewaan Yogyakarta. Beliau juga merupakan ayah dari Sri Sultan HB X yang kini memerintah.
Salah satu kebijakan penting yang ditinggalkan oleh Sultan HB IX adalah pelarangan warga keturunan China memiliki hak milik atas tanah di Yogyakarta.
Menurut aturan ini, warga keturunan China hanya diperbolehkan memiliki hak pakai atau hak guna bangunan (HGB), bukan hak milik.
Keputusan ini berakar pada kejadian sejarah yang terjadi selama Agresi Militer II Belanda pada tahun 1948, yakni di Bulan Desember 1948. Pada saat itu, sebagian besar komunitas China di Yogyakarta lebih memilih mendukung pasukan Belanda yang sebelumnya sudah menjajah Indonesia selama 350 tahun dan berusaha kembali menjajah Indonesia setelah kemerdekaan.
Hal ini menyebabkan ketegangan antara warga pribumi dan keturunan China, yang pada akhirnya berujung pada keputusan Sultan HB IX untuk mencabut hak kepemilikan tanah bagi etnis China di Yogyakarta.
Tahun 1950, ketika NKRI kembali tegak dan berhasil dipertahankan dengan keringat dan darah, komunitas China akan eksodus dari Yogyakarta.
Namun Sultan HB IX masih memperlakukan komunitas China dengan bijaksana setelah peristiwa tersebut. Beliau memberikan kesempatan bagi mereka untuk tetap tinggal di Yogyakarta, namun dengan ketentuan bahwa hak milik tanah mereka dicabut.
Kebijakan ini bertahan hingga saat ini, meskipun sudah beberapa kali digugat oleh pengusaha dan investor China yang merasa bahwa aturan ini tidak adil dan bersifat diskriminatif. Namun, Mahkamah Agung tetap menegaskan bahwa aturan tersebut adalah bagian dari keistimewaan DIY yang harus dipertahankan.
Pada tahun 1975, Paku Alam VIII mengeluarkan surat instruksi yang menguatkan kebijakan ini dengan mengarahkan bupati dan walikota untuk tidak memberikan surat hak milik tanah kepada warga negara non-pribumi. Hal ini memungkinkan warga keturunan China hanya memiliki tanah dengan status HGB, dan setelah jangka waktu tertentu, tanah tersebut akan kembali menjadi milik negara.
Kebijakan ini menunjukkan visi jauh ke depan dari Sri Sultan HB IX dalam menjaga kedamaian dan keharmonisan di Yogyakarta, serta keinginannya untuk menjaga keistimewaan daerah tersebut. Meskipun kontroversial, kebijakan ini tetap berlaku sebagai bagian dari identitas dan sejarah Yogyakarta.
Red/BS
Namun Sultan HB IX masih memperlakukan komunitas China dengan bijaksana setelah peristiwa tersebut. Beliau memberikan kesempatan bagi mereka untuk tetap tinggal di Yogyakarta, namun dengan ketentuan bahwa hak milik tanah mereka dicabut.
Kebijakan ini bertahan hingga saat ini, meskipun sudah beberapa kali digugat oleh pengusaha dan investor China yang merasa bahwa aturan ini tidak adil dan bersifat diskriminatif. Namun, Mahkamah Agung tetap menegaskan bahwa aturan tersebut adalah bagian dari keistimewaan DIY yang harus dipertahankan.
Pada tahun 1975, Paku Alam VIII mengeluarkan surat instruksi yang menguatkan kebijakan ini dengan mengarahkan bupati dan walikota untuk tidak memberikan surat hak milik tanah kepada warga negara non-pribumi. Hal ini memungkinkan warga keturunan China hanya memiliki tanah dengan status HGB, dan setelah jangka waktu tertentu, tanah tersebut akan kembali menjadi milik negara.
Kebijakan ini menunjukkan visi jauh ke depan dari Sri Sultan HB IX dalam menjaga kedamaian dan keharmonisan di Yogyakarta, serta keinginannya untuk menjaga keistimewaan daerah tersebut. Meskipun kontroversial, kebijakan ini tetap berlaku sebagai bagian dari identitas dan sejarah Yogyakarta.
Red/BS
Posting Komentar
0Komentar